Penulis: Zulkarnain Musada
Pengurus MW KAHMI Gorontalo
HIMPUN.ID – Tidak mudah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah yang terpajang dalam Pembukaan UUD 1945. Kebutuhan yang semakin membesar mengecilkan nilai dan semangat merawat apa yang telah dimiliki.
Pada suatu petang, dua gelas kopi jagung dan diselingi sepiring pisang goroho melengkapi teduhnya suasana menjelang separuh lahan garapan hampir selesai disemprot. Sambil menyeduhkan gelas kopi di pelipis bibir, kalimat di atas sebagai pembuka diskusi ketat yang terjalin bersama Dahlan Usman; Ketua Ika Unhas Gorontalo dan Koordinator Gerakan Pemuda Tani Indonesia (Gempita) Gorontalo.
Saat ini pemerintah berusaha meningkatkan produksi pertanian khususnya komoditas pangan pajale; padi, jagung dan kedelai. Sejalan dengan semakin meningkatnya permintaan bahkan sebagian produk pertanian tidak bisa dicukupi dari produksi sendiri yang akhirnya dipenuhi melalui impor. Terkurasnya devisa negara untuk impor komoditas pangan mestinya menjadi perhatian serius.
Indonesia yang membutuhkan pangan dalam jumlah besar akan berisiko besar bila terus bergantung pada pasokan pangan dari pasar dunia. Tidak hanya mengancam ketahanan pangan, ketergantungan pangan pada pasar dunia membuat Indonesia kehilangan kedaulatan ekonomi maupun politik di mata dunia internasional.
Disisi lain, impor pangan akan terus menekan harga di tingkat petani. Harga jual produk yang rendah akan membuat petani makin terjerat lingkaran kemiskinan. Dalam konteks nasionalisme, impor pangan merendahkan harkat martabat petani Indonesia.
Baca juga:Thariq dan Gorontalo Utara Belum Selesai
Dalam ruang lain, pangan adakalanya digunakan sebagai “senjata” dalam hubungan politik internasional. Jika pada masa lalu perang pangan (food war) terjadi secara kasat mata, belakangan ini menjadi terselubung (proxy food war). Medan tempur proxy food war utamanya penguasaan lahan dan air melalui investasi asing. Sehingga negara-negara yang berpenduduk besar selalu berupaya untuk berswasembada pangan dan bahkan surplus pangan.
Inilah kesadaran Bung Karno akan pentingnya swasembada pangan yang merupakan perkara hidup atau matinya bangsa Indonesia. Apalagi menjadi lumbung pangan dunia, tidak hanya penting bagi kedaulatan pangan Indonesia tetapi juga turut memperkuat ketahanan pangan yang juga berarti memajukan kesejahteraan dan menjaga perdamaian dunia.
Substansial Paradigma
Kunjungan Presiden Jokowi di Provinsi Gorontalo yang beberapa hari lalu ramai diperbincangkan lewat saluran dunia nyata dan dunia maya. Bila ditelesuri lebih dalam, agenda presiden dalam rangka menggunting pita proyek atas janjinya sambil melenturkan badan dilapangan sepak bola. Kehadian Jokowi tidak sendiri, ada beberapa menteri kabinet kerja turut mendampingi salah satunya Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman.
Bila Presiden Jokowi menggunting pita proyek strategis, maka sangat diharapkan Mentan Andi Amran menyusun batu bata pergesaran paradigma swasembada menuju lumbung pangan dunia.
“Ini Tarsan dari hutan, begitu naik (pohon pengabdian) lupa turun sebelum selesaikan persoalan pangan. Ikhlaskan kami bekerja untuk republik ini.” Ini adalah pekikan, semacam sumpah sakti Mentan Amran, 2016 silam
Tentunya, salah satu narasi besar yang sering diulangi dalam setiap pergantian menteri adalah swasembada pangan. Program ini cenderung dijadikan objek jarahan agar kepemimpinannya terkesan mempesona.
Dan situasi ini mendorong para penggerak pertanian untuk mencari dan menyukai sesuatu yang dianggap bisa menaikkan elektoral martabat penghidupan yang telah diterima dari kesenjangan rintisan turun temurun keluarganya.
Praktik swasembada dan segala perangkat kebijakan masih kental dengan rekayasa visi, daur ulang narasi yang hanya palsu semata. Eksploitasi produksi pertanian dalam negeri selalu diandalkan tanpa menawarkan menu baru, garansi program yang lebih menantang dan menjadikan petani sebagai pemenang.
Sungguh swasembada pangan merupakan masalah yang sudah puluhan tahun diselesaikan dengan cara tambal sulam. Menjahit komoditas yang sobek, mendayung pasar bagi komoditas yang suplus. Semuanya sebatas kerja-kerja lama, sedangkan tantangan dan misi pertanian dunia menargetkan agenda besar.
Pengalaman sejarah dan tantangan peradaban agraris yang diharapkan dapat mendiseminasi ide, pengetahuan, teknologi, dan terobosan bernas kini menjadi ajang pengulangan sejarah dan reduksi virtual kebijakan.
Swasembada pangan seolah-olah sudah merasa puas dengan digulirkannya kebijakan subsidi benih dan pupuk. Padahal fenomenanya, kebijakan yang digelindingkan tidaklah secara otomotis mampu membela penghidupan dan produktivitas para petani.
Dunia sudah terjebak dalam era persaingan global, bukan lagi yang lemah kalah dengan yang kuat tetapi yang lambat akan tiarap dengan kecepatan mitigasi masalah dan mengemas kebijakan secara tepat.
Demikian halnya, pemikiran Naisbitt tentang efek globalisasi bagi perubahan dunia, antara lain; perubahan dari masyarakat industri ke masyarakat informasi. Perubahan dari teknologi yang mengandalkan kekuatan tenaga ke teknologi canggih. Perubahan dari ekonomi nasional ke ekonomi dunia.
Naisbitt melihat suatu gejala bahwa manusia tidak lagi memandang negara sebagai identitas yang bisa mereka bawa. Di saat dunia semakin tanpa batas, manusia malah semakin membutuhkan suatu identitas lain yang lebih sempit dari nation-state ke tribal-state.
Narasi Kecil Gorontalo
Rekonstruksi pembangunan pertanian diturunkan dari narasi besar tentang mimpi “swasemba” menjadi percakapan-percakapan kecil, sederhana dan tampak menyatu dengan tubuh pembangunan sebagai negara agraris; yaitu “hilirisasi jagung”.
Komoditas jagung merupakan bahan makanan utama kedua setelah beras. Negara yang mengkonsumsi jagung sebagai sumber makanan pokok adalah Amerika Tengah dan Amerika Selatan.
Jagung juga salah satu sumber karbohidrat yang cukup potensial, yang juga menjanjikan banyak harapan untuk dijadikan sebagai bahan baku berbagai macam turunannya, seperti; dekstrosa (makanan, obat-obatan), dekstrin (bahan industri), tepung jagung, minyak jagung (corn oil), sirup jagung, kosmetik hingga etanol (biodisel).
Ditinjau dari total produksi, Provinsi Gorontalo termasuk daerah produksi jagung nomor 8 terbesar di Indonensia dengan luas panen 212,5 ribu hektar menghasilkan 0,91 juta ton jagung per tahun.
Gorontalo walaupun menduduki peringkat 8 sebagai daerah produsen jagung, justru mengambil peran dalam kamar dagang harga dan kualitas varietas bersama Jawa Timur dan Lampung.
Pilar-pilar penyangga arsitektur pangan inilah yang harus didongkrak agar tidak tampak kian keropos. Bukan karena dominasi eksternal tetapi oleh lemahnya memaksimalkan kawasan-kawasan supporting area agraris.
Tahun 2022 Indonesia mengeskpor jagung dengan nilai eskpor sebesar US$ 49,95 juta, nilai itu meroket dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar US$ 4,24 juta. Negara-negara tersebut diantaranya Filipina, Vietnam, Singapura, Jepang, dan Malaysia.
Luas area lahan Filipina, Vietnam, Singapura, Jepang, dan Malaysia tidak sebanding dengan Gorontalo, Jawa Timur dan Sumatera Utara. Namun mereka mampu mengimbangi dengan kecepatan dalam memodifikasi turunan dari komoditas jagung.
Di saat bersamaan, negara langganan importir jagung Indonesia seperti Filipina, Vietnam, Singapura, Jepang, dan Malaysia telah menikmati jutaan karung dolar dari hasil turunan komoditas jagung. Ironisnya, turunan jagung seperti minyak jagung, kosmetik dan makanan ringan dijual ke Indonesia. Inilah sebuah parodi; siapa cepat berlari maka ia akan berdikari. Dimana semestinya; siapa yang punya lahan maka ia sebagai dalang.
Kebijakan yang dapat dijadikan salah satu tolak ukur dalam menakar daya tampung perekonomian dan daya dukung pencapaian agenda besar pembangunan lumbung pangan adalah hilirisasi jagung.
Atau lebih spesifiknya yaitu bagaimana survive negara dan rakyatnya terhadap kemungkinan adanya goncangan penyediaan dan akses pangan. Mitigasi ini diperlukan untuk memastikan keseriusan sektor pangan Pajale menjadi primadona dalam line up kebijakan kepemimpinan mendatang.
Dalam era pembangunan post modern, hilirasi pembangunan telah mengambil alih tanggung jawab atas pertanyaan akhir dari produk kebijakan. Bila seluruh sistem yang mendukung terbentuknya hilirisasi jagung ini dirancang dengan sistematis, terstruktur dan masif, tentunya komoditas pangan Pajale menjadi tuan di beranda rumah sendiri.
Dampaknya dapat diharapkan terlihat pada terbukanya kawasan ekonomi baru, terbentuknya beragam pelaku UMKM baru, dan lapangan kerja baru.
Salah satunya output dari narasi hilirisasi jagung yaitu minyak jagung meskipun belum populer penggunaannya di Indonesia, namun merupakan cooking oil yang penting terutama bagi masyarakat negara maju. Minyak jagung memiliki nilai kesehatan melebihi minyak sawit.
Produksi minyak dari tanaman atau sering disebut dengan biofuel menjadi upaya pengembangan bahan bakar alternatif juga mengurangi emisi gas dari efek rumah kaca atau Greenhouse Gas Emissions (GHG). Subtitusi kebijakan penggunaan dari minyak sawit ke minyak jagung juga sebagai langkah pertobatan ekologis, dalam mengelola resource negara agraris.
Hal yang tidak kalah pentingnya hilirisasi jagung ini adalah kompas aktivitas ekonomi yang tidak lagi berotasi di kawasan komersil. Pedesaan dan daerah 3T menjadi kantong-kantong lumbung perekonomian kawasan hingga yang nantinya mampu memenuhi kebutuhan penghidupan setiap keluarga petani.**
Catatan : Tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis
(Info: himpun.id menerima kontribusi tulisan dengan berbagai tema. Rubrik tulisan yang dapat di kirim yakni Opini, Resensi, Cerpen, Puisi, Tips, Edukasi, Khazanah, dan lain sebagainya, selagi bermanfaat)