HIMPUN.ID – Wacana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang bakal dilakukan oleh Pemerintah Pusat dengan total 12%, mendapat sorotan dari Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam Badan Koordinasi Sulawesi Utara – Gorontalo.
Ketua Bidang Ekonomi dan Partisipasi Pembangunan Daerah HMI Badan Koordinasi Sulawesi Utara – Gorontalo, Inkrianto Mahmud mengatakan, wacana kenaikan PPN 12% ini adalah wacana yang tidak memikirkan kondisi aktual masyarakat tingkat paling bawah, khusus di Provinsi Gorontalo.
Inkrianto menjelaskan, PPN ini jika naik, secara otomatis tingkat konsumsi dan belanja masyarakat di Gorontalo bakal menurun. Belum lagi di Gorontalo secara Nasional menjadi daerah peringkat miskin ke 9, yang saat ini pada tahun 2024 dengan presentase penduduk miskin 14,57%, sebelumnya di tahun 2023 dengan presentase 15,16% turun 0,58%. Jika dilihat lebih rinci jumlah penduduk miskin pada Maret 2024 sebesar 177,99 ribu orang, menurun 5,72 ribu orang terhadap Maret 2023.
“Coba kita bayangkan, di Gorontalo dengan jumlah penduduk miskin seperti itu akan membatasi melakukan konsumsi dan belanja kebutuhannya. Garis kemiskinan di pedesaan pada Maret 2024 tercatat sebesar 22,97 persen, menurun 0,76 persen poin jika dibandingkan kondisi Maret 2023 yang tercatat sebesar 23,73 persen. Turunya tidak sampai 1%. Kondisi kemiskinan di perkotaan saja justru naik yang sebelumnya tercatat sebesar 4,57 persen, meningkat 0,10 persen poin dari kondisi Maret 2023 yang tercatat sebesar 4,47 persen,” ujarnya.
Inkrianto menjelaskan, jika ditelisik lebih mendalam lagi dampak kenaikan PPN ini diantaranya seperti jasa-jasa konsumsi berupa salon, laundry dan restoran pasti akan dikenakan kenaika tarif PPN. Barang konsumsi harian masyarakat berupa makanan, minuman, sabun, sampo, deterjen dan hingga produk rumah tangga lainnya secara otomatis bakal naik. Belum lagi alat komunikasi masyarakat berupa elektronik dan gadget seperti HP dan laptop juga akan terkena dampaknya.
“Ya, ini adalah kebutuhan masyarakat, apalagi bagi masyarakat tingkat menengah bawah yang tingkat pendapatannya dibawah,” jelasnya.
Inkrianto menambahkan, memang benar jika kebijakan ini adalah mendorong pendapatan negara yang dapat digunakan pada kebijakan fiskal lainnya seperti inflastruktur, pendidikan dan kesehatan di kalangan masyarakat. Mungkin, ini dampak dari Pemilu dan Pilkada, tapi ini bukan soal hal tersebut, lebih dari kondisi aktual masyarakat di Gorontalo.
Alternatif yang bisa dilakukan pemerintah, dikatakan Inkrianto, pemerintah bisa mempertimbangkan penerapan tarif PPN yang lebih fleksibel berdasarkan kategori barang dan jasa, terutama yang bersifat esensial. Misalnya, barang kebutuhan pokok dan layanan kesehatan tetap dibebaskan dari PPN atau dikenakan tarif lebih rendah (misalnya 5%).
“Mungkin bisa jadi alternatif adalah pemerintah harus mengkategorisasi barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat yaitu kebutuhan pokok tidak digunakan atau dibebaskan dari PPN tersebut,”, tambahnya.
Pihaknya menambahkan, sebagai organisasi mahasiswa yang mengetahui kondisi masyarakat di wilayah Sulawesi Utara dan Gorontalo, akan mengkonsolidasikan kebijakan ini ditataran mahasiswa, lebih khusus akan melakukan aksi demonstrasi di wilayah kerja kantor secara vertikal dengan pemerintah pusat yang memiliki wilayah kerja di Provinsi Gorontalo.
“Ia kita akan melakukan aksi penolakan PPN 12% di wilayah kerja pemerintah secara vertikal yaitu Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Gorontalo (Kanwil DJPb Gorontalo),” tandasnya.*