HIMPUN.ID – Akhir Bulan Ramadhan, zaman dahulu, orang Gorontalo biasanya melakukan kegiatan yang disebut menangis Bulan. Orang Tua dulu, menangisi bulan, karena akan berpisah dengan bulan Ramadhan.
“Sebab tidak ada lagi jaminan Allah SWT, seperti di Bulan Suci Ramdhan, pahala berlipat-lipat ganda, bulan-bulan lain sudah tidak ada lagi,” hal itu diungkapkan, Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Gorontalo, Ridwan Tohopi, saat diwawancarai usai memasang 1442 ribu lampu botol di halaman kampus, Minggu (9/5/2021).
Kepada himpun.id, ia menceritrakan, setelah mencapai puncak pelaksanaan ibadah puasa, dulu orang Gorontalo itu, menangis bulan, sebagai bentuk kerinduan terhadap Bulan Ramadhan yang akan berakhir.
“Dulu, Hiongalo Boti Hulalo ‘Ditangisi ini Bulan’, tapi sekarang malah kerinduannya, kapan puasa ini selesai,” tuturnya.
Bahkan kata Ridwan, menangis bulan itu ditentukan waktunya.
Dijelaskannya, maksud menangis bulan itu, setelah seseorang melaksanakan tahapan, pengampunan, dan meraih rahmat.
“Dan dia mengharapkan kembali ke fitra, makanya di Idul Fitri itu disebut, kembali ke kesucian. Tentunya dengan melalui proses amalia-amalia Ramadhan,” ungkapnya.
Diterangkannya, kerinduan terhadap Bulan Suci Ramadhan itu semakin memuncak, ketika orang tua dulu, mulai mempertanyakan dalam hatinya, “apakah dia akan sampai pada bulan yang akan datang. Dan bertanya-tanya apakah akan kembali ke fitra atau tidak.”
Terakhir, ia menjelaskan, banyak hal bisa dilakukan untuk mendapatkan ampunan Allah SWT.
“Dalam melaksanakan puasa, menahan haus dan lapar harus diserti dengan amal kebaikan. Baik melakukan sholat, bersedekah, itikaf, dan kebaikan-kebaikan lainnya,” tutupnya. (HP)