HIMPUN.ID – Kebijakan pemerintah dalam upaya menekan jumlah pertumbuhan kasus Covid-19, dan memutus mata rantai penularannya, menuai bermacam kritikan dan aksi protes, dari berbagai kalangan.
Sebelumnya, dalam upaya menekan pertumbuhan kasus Covid-19, dan demi memutus mata rantai penularan Covid-19, pemerintah menerapkan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Darurat, untuk wilayah Jawa-Bali, dan 15 daerah di seluruh Indonesia.
Di Gorontalo sendiri, khususnya di wilayah Kota Gorontalo, Pemerintah Daerah Kota Gorontalo turut menerapkan PPKM-Mikro, yang membatasi aktivitas kegiatan masyarakat di tempat-tempat yang rawan berpotensi kerumunan, hingga pukul 21.00 Wita.
Kemudian kebijakan ini pun, sontak menuai kritikan dan protes dari berbagai kalangan masyarakat. Baik dari segi tindakan penegakan aturannya oleh aparat, hingga dampak dari diberlakukannya PPKM-Mikro itu sendiri.
Seperti diberitakan sebelumnnya, menjelang perayaan Hari Raya Islam Idul Adha, sejumlah massa yang mengatasnamakan dirinya Aliansi Pemuda Gorontalo dan Komunitas Ojol (Ojek Online), menggelar aksi unjuk rasa di Bundaran HI (Hulondalo Indah) dan Perlimaan Kota Gorontalo, Senin (19/07/2021).
Massa aksi tersebut, menuntut pemerintah memberikan solusi tepat terhadap persoalan masyarakat, yang menjadi dampak dari diberlakukannya PPKM-Mikro, yang dinilai berdampak serius terhadap kelangsungan hidup para pedagang, dan masyarakat kecil lainnya.
PPKM Dinilai Membatasi Perekonomian
Begitupun dengan mahasiswa Fakultas Hukum salah satu perguruan tinggi di Gorontalo, Kikal Dilapanga. Menurutnya, pada tahun lalu, pemerintah membuat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Namun, himbauan tersebut dirasa belum efektif dalam pencegahan Covid-19.
“Kemudian di tahun ini, Pemerintah menjalankan kebijakan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat. Namun kebijakan tersebut, malah justru membatasi perekonomian dan peningkatan kemiskinan bagi rakyat Indonesia,” tuturnya melalui keterangan tertulisnya kepada Himpun.id, Rabu (21/07/2021).
Dijelaskannya, PPKM dari sudut pandang masyarakat khususnya para pedagang adalah, “Pelan-Pelan kita Miskin”. Banyak informasi yang diedarkan di media sosial, fasilitas-fasilitas para pedagang diangkut dan ditutup secara paksa.
“Ini bukan persoalan Covid-19. Ini persoalan kebijakan. Pembatasan bukanlah solusi. Jikalau membuat kebijakan, seharusnya berikan juga solusi kepada masyarakat. Provinsi Gorontalo ‘New Normal’ dan tidak termasuk dalam PPKM-Darurat. Pemerintah harus mengevaluasi sebelum mengeluarkan kebijakan PPKM. Masyarakat hanya menginginkan ‘New Normal’, dan peningkatan moral. Bukan pembatasan yang tidak masuk akal,” jelasnya.
Pemerintah Diminta Tegas Berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945
Ia meminta, ketegasan pemerintah berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD-RI), seperti yang termaktub dalam pasal 27 ayat (2) yang menyatakan, ”tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
“Jelaslah bahwa, penghidupan yang layak dan tidak ada pembatasan bagi mereka yang bekerja untuk berkehidupan. Saya sekaligus mahasiswa hukum, akan mengecam apabila pemerintah terus menerapkan PPKM khususnya di Provinsi Gorontalo, yang semestinya PPKM tidak perlu diterapkan,” pungkasnya. (MYP/HP)