24.4 C
Jakarta
Minggu, November 3, 2024

Buy now

Memaknai Hari Sumpah Pemuda untuk Para Milenial

Oleh: Apris Nawu

HIMPUN.ID, OPINI – Sumpah pemuda dinilai sebagai momen kunci dalam perjuangan berdirinya bangsa Indonesia merebut kemerdekaan dari belenggu penjajahan, yang menjajah rakyat Indonesia.

Hari sumpah pemuda selalu diperingati tanggal 28 Oktober setiap tahunnya, momentum ini adalah sebagai perkumpulan dan bersatunya para pemuda dari setiap provinsi-provinsi diIndonesia.

Sumpah Pemuda adalah salah satu tonggak penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.

Ikrar ini mampu memompa semangat pemuda atau milenial pada saat itu.

Salah satunya untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia, yang terdiri atas cita-cita akan Tanah Air Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa Indonesia.

Untuk pemuda atau milenial zaman sekarang, apakah sumpah tersebut masih berlaku?

Baca juga: Diduga Arus Pendek Listrik, Satu Rumah di Aka Akae Hangus Terbakar

Semangat sumpah pemuda yang menggelora tersebut apakah sudah selesai ketika Indonesia sudah meraih cita-citanya? Jawabannya, ikrar tersebut jelas masih berlaku. Terlebih untuk milenial.

Dahulu ikrar sumpah pemuda digunakan untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia.

Sekarang ikrar tersebut digunakan untuk menegaskan keutuhan tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia.

Selain itu juga untuk menegaskan perjuangan mempertahankan kemerdekaaan Indonesia, khususnya di kalangan pemuda atau milenial.

Ada beberapa hal yang bisa dimaknai milenial dari Sumpah Pemuda untuk menyikapi kondisi sekarang.

Pertama, Sumpah Pemuda sebagai momentum menjadi milenial yang ber-bhinneka tunggal ika. Yang kedua, Sumpah Pemuda sebagai momentum menjadi milenial yang cinta Tanah Air.

Momentum Menjadi Milenial yang Ber-Bhineka Tunggal Ika

Ini yang sekarang harus diangkat ke permukaan. Cerdas ber-bhinneka tunggal ika.

Pasalnya, perang kata-kata di medsos sampai dengan detik ini antarnetizen, yang tentunya salah satunya pemuda atau milenial, cukup menguras energi bangsa.

Sikap tidak mau menghargai perbedaan atau berbeda-beda, tetapi satu jua, masih lemah di kalangan anak muda.

Baca juga: TM Ditetapkan Tersangka atas Dugaan Kasus Korupsi Dana Hibah KONI Boalemo

Ditambah lagi, panutan atau teladan yang sejatinya terdapat pada sosok orang tua, entah pejabat negara, tokoh ormas, tokoh partai, atau public figure lainnya, juga masih kurang.

Bahkan, di antara mereka justru ikut memprovokasi dengan kata-kata yang kurang bijak.

Karena itu, penting saling menghargai perbedaan. Entah itu perbedaan pendapat, pilihan politik, dan lain-lain.

Penting toleransi antarpemuda, antarmilenial. Resepnya sebetulnya sederhana. Jangan mudah baperan.

Caranya, hati-hati menyikapi perbedaan. Hati-hati meng-komen/mengkritisi sesuatu. Pun yang di-komen, tidak mudah panas ketika dikritik.

Tidak mudah terbang ketika dipuji. Prinsip-prinsip ini cukup efektif menekan sikap baper seseorang di medsos.

Baca juga: Pola Pemikiran Kritis Mahasiswa; (Hidonis dan Apatis) di Masa Sekarang

Wahai milenial sadarlah bahwa perbedaan adalah keniscayaan. Justru karena perbedaan antara ibu dan bapak, maka lahirlah seorang anak, misalnya.

Justru karena ada perbedaan warna, maka taman bunga menjadi indah. Justru karena perbedaan, pelangi pun menjadi cantik. Jadi, hargailah perbedaan.

Momentum Menjadi Milenial yang Cinta Tanah Air

Satu lagi yang bisa menegaskan keutuhan negara adalah menjadi milenial yang cinta Tanah Air.

Dengan cinta, seseorang akan menjadi tulus bekerja. Dengan cinta, seseorang menjadi tulus melakukan segala sesuatunya.

Melalui pelajaran Sumpah Pemuda, seorang milenial mesti mencintai Tanah Airnya.

Tidak mudah tergoda dengan pernak-pernik yang sebetulnya kurang sesuai atau pantas dengan kelaziman di negara kita.

Jangan mudah juga terpancing oleh kompor-kompor yang mengatakan bahwa agama mereduksi budaya bangsa, bahwa agama menghilangkan budaya bangsa. Ke mana sila pertama Pancasila kalau begitu?

Tidak apple to apple ketika seseorang membanding-bandingkan agama dan negara. Kalau mau, yang pantas itu membanding-bandingkan negara dengan fanatisme ormas, partai, atau kelompok.

Baca juga: Sumpah Pemuda, Sejarah Panjang Pergerakan Pemuda

Seseorang yang fanatik buta terhadap kelompok bisa jauh dari sikap kenegarawanan.

Pikirannya hanya keuntungan semata buat kelompoknya. Bukan buat negara. Ini yang pas buat ditanya di TWK CPNS sebetulnya, “Apakah kelompok Anda atau negara yang utama?”, terlebih di negara yang tidak pernah sepi dengan pemberitaan korupsi pejabat negara, yang dalam hal ini abdi negara.

Perang Kata-Kata karena Kurang Cinta Tanah Air

Perang kata-kata antarmilenial di medsos boleh jadi karena kurang cinta Tanah Air. Cinta kepada pilihannya, kepada kelompoknya, kepada komunitasnya lebih dominan daripada kepada negara.

Akhirnya, apa yang dilakukan oleh orang di luar kelompoknya selalu salah.

Lalu, ketika ada kritik, malah dianggap hinaan. Sikap-sikap seperti ini mulai detik ini seharusnya hilang dari pribadi milenial.

Berpikir positif dan mendahulukan cinta Tanah Air dapat menjadi tips menghindari hal-hal tersebut.

Pemerintah, Media, Milenial Menjadi Pemersatu Bangsa

Di momentum Sumpah Pemuda ini kita cukupkan perang kata-kata, hinaan, dan lain-lain di medsos.

Pendukung si A, pendukung si B, pendukung partai A, pendukung partai B, pendukung kelompok A, pendukung kelompok B harus dewasa. Dan media juga harus bisa menjembatani pembelajaran kedewasaan akan perbedaaan tersebut dengan sebaik-baiknya.

Media, yang juga digawangi milenial, upayakan tidak mengutamakan rating semata.

Tapi mengutamakan keutuhan bertanah air, berbangsa, dan berbahasa sesuai dengan semangat Sumpah Pemuda. Netizen, yang mungkin rata-rata milenial, tidak mudah terpancing.

Tapi mengutamakan sikap ber-bhinneka tunggal ika, memprioritaskan cinta Tanah Air, sesuai semangat Sumpah Pemuda, Tanah Air satu, Tanah Air Indonesia!.**

Penulis adalah Ketua Bidang Pengembangan Organisasi Paguyuban Bone Bolango. Persatuan Aksi Pelajar Mahasiswa Indonesia Bone Bolango Gorontalo (PAPMIB-G).
Dan Pengagas Gerakan Pemuda Gorontalo Indonesia (GPGI).