HIMPUN.ID – Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Gorontalo, Ridwan Tohopi, mengungkapkan, malam Tumbilotohe ‘pasang lampu’ seharusnya menggunakan belahan pepaya ditaru kapas, atau lampu botol, bukan lampu hias menggunakan listrik.
Dikisahkannya, zaman dahulu, pada tahun 1500-an, belum ada minyak, yang ada, adalah kelapa yang diolah menjadi sumber minyak.
“Ada juga jarak yang diambil, itu ditaruh di belahan pepaya ditaru kapas satu, itu sebenarnya lampu Gorontalo dulu. Dulu obor, sebelum dari pelepah pepaya. Orang ke Masjid bawa obor. Dan lampu botol masuk pada fase ke 4, karena dulu itu padamala,” ungkap Ridwan saat diwawancarai himpun.id, usai memasang 1442 ribu lampu botol di halaman kampus, Minggu (9/5/2021).
Sehingganya, ia berharap, tradisi tumbilotohe, tetap dipelihara dan dijaga keasliannya.
Dijelasakannya, sebenarnya pada fase tahun 1500-an, Islam masuk di Gorontalo, tanda lampu itu, adalah tanda orang yang telah khatam al-Quran selama bulan Ramadhan.
“Jika ada 5 jiwa dalam satu rumah, itu di lihat dari lampu. Kalaw dia sudah khatam al-Quran, akan keluar lampu. Jadi begitu sejarahnya dan makna yang terkandung didalamnya,” tuturnya.
Imbuhnya, tradisi tumbilotohe juga dihubungkan dengan 10 malam terakhir turunnya Lailatul Qadar. Dalam perkembangan-perkembanganya, “karena sudah dikaitkan lagi dengan qiyas, dan ijtihad para ulama, 10 hari terakhir itu, Lailatul Qadar itu perlu disambut dengan terang”.
“Maka para ulama sepakat dinamakan Tubilotohe, untuk menjemput itu,” ulasnya.
“Nah Lailatul Qadar turun itu, dikaitkan bersamaan dengan orang khatam al-Quran, maka dilaksanakan Tumbilotohe. Jadi melihat orang yang sudah khatam itu, lihat di lampu,” jelasnya.
Ia mengatakan, dahulu, dari rumah sebelah ke rumah sebelah, orang itu bisa melihat melalui lampu yang menyala.
“Jadi kalaw sudah ada dua orang yang khatam al-Quran pada saat itu, sampai kalaw dia lima orang, maka sejumlah jiwa yang ada di rumah itu yang dipasangkan lampu, kecuali yang belum Akil baligh. Itu sejarahnya,” tegasnya.
Dikatakannya, substansinya ada dua, yakni, menunggu kedatangan Lailatul Qadar, dan yang kedua, memperjelas dalam satu rumah itu selesai menghatam al-Quran.
Ia menuturkan, di masa Popa Eyato, orang-orang malah berlomba-lomba menyelesaikan bacaan al-Qur’an.
“Sebulan itu, sampai 5 kali, atau 10 kali khatam al-Quran dalam bulan Ramdhan,” ungkapnya.
Imbuhnya, jika mengambil iktibar ‘pengajaran’, dari sebuah proses tumbilotohe, ada dua, pertama, memperkuat budaya, dan yang kedua, mulai dari 10 malam terakhir sudah mulai dilakukan.
“Bukan nanti di hari terakhir. Itu yang harus dikembalikan,” harapnya.
Ia berharap, jika mau dilombakan tradisi tumbilotohe, bukan menggunakan lampu hias.
“Ini malah dilombakan, seolah-olah lampu hias itu, mempercantik. Jangan semua menggunakan lampu hias, karena substansinya adalah lampu yang dinyalakan, kalau perlu dikembalikan ke lampu yang dulu, seperti pelepah pepaya, yang di dalamnya ada minyak kelapa, itu sudah diatur sampai subuh, selesai dia mati sendiri,” ketusnya.
Ia juga menerangkan, tumbilotohe ini hanya ada di Gorontalo.
“Jika ada di Daerah lain, seperti Bolaang Mongondow, Sulawesi Tengah, di daerah Buol, atau di palu, itu bukan tradisi orang sana, itu orang Gorontalo yang melaksanakannya disana,” katanya.
Lanjutnya, sejauh yang ia lihat, kadang pelaksanaan tradisi tumbilotohe telah bergesar pada 3 aspek, yakni, politik, ekonomi, dan ritual.
“Ritual ini yang hampir ditinggalkan, dan lebih menonjol pada dua aspek, aspek ekonomis dan politis,” tambahnya.
Terakhir, ia menyampaikan, jika mau dilombakan, seharusnya dikembalikan, bukan terfokus pada semarknya banyaknya lampu listrik.
“Bukan disitu maksudnya. Seharusnya yang dilombakan itu, berapa jumlah rumah yang masih menggunakan lampu, dalam sebuah kampung. Ini yang harus di kembalikan pada kultur asli budaya Gorontalo,” pungkasnya. (HP)