Oleh: Khadafi Moehamad
HIMPUN.ID, OPINI – Kita hidup di era yang serba gamang. Ini era pasca-kebenaran atau juga yang sering didefinisikan sebagai Postruth.
Era ini identik dengan keterbukaan informasi, namun di saat yang sama, juga kebohongan. Kebohongan saat ini tidak lagi hadir dari informasi yang “sedikit” sebagaimana sepuluh dekade kemarin.
Sebaliknya, kebohongan hari ini lahir dari melubernya informasi dan anehnya, kita seolah dipaksa untuk mempercayainya.
Menurut kamus Oxford, Postruth adalah kata sifat yang berkaitan dengan keadaan individu merespon lebih banyak menggunakan keyakinan perasaan dan keyakinan daripada fakta.
Alhasil, sebagian besar masyarakat saat ini tidak lagi terdidik untuk lebih dekat dengan penalaran rasio dan objektif, apa lagi untuk sebuah fakta, melainkan sentimen dan sinisme.
BACA JUGA: Politik Sentimen Primordial Akan Bendung Langkah Anas di 2024?
Semenjak satu dekade terakhir ini, Postruth lebih terasa nyata karena kehadiran teknologi dan informasi yang dipresensikan melalui berbagai media sosial, seperti Facebook, WhatsApp, Instagram, Twitter dan lain sebagainya yang berjeraring pada satu sistem besar yang disebut Big Data.
Di dalam sistem ini, semua orang bebas melempar pendapat, bahkan bila mereka bukan ahlinya. Misalnya, ketika parade panjang pilpres tahun 2019 silam, persatuan kita makin terbelah.
Keterbelahan ini melahirkan masing-masing kubu politik “cebong” dan “kampret”.
Kubu Cebong merepresentasikan Jokowi dan sebaliknya, Kubu Kampret, adalah oposisi yang mendukung Prabowo. Mereka bahkan punya data yang, barangkali valid atau tidak, digunakan untuk saling serang.
Alhasil, perdebatan memuncak dan berujung pada klaim kebenaran, ujaran kebencian hingga, pada taraf tertentu yang sangat ekstrim, berpotensi melahirkan kontak fisik.
Dalam kondisi yang demikian, manusia berada di tengah kegamangan — bahkan boleh jadi mengalami krisis — dan sepertinya, apa yang disebut sebagai “kebenaran” itu tidak ada lagi.
Beberapa orang yang tidak tahan, saya pikir, melakukan detoks, atau semacam mencari cara untuk keluar dari virus dunia maya.
Detoks ini dilakukan dengan mengubur akun media sosial mereka lantaran mengidamkan suasana hidup yang tenang, aman dan damai, jauh dari berbagai intrik dan konflik yang disebabkan oleh dunia virtual.
Dan di saat yang sama, mereka juga terus mempertanyakan hakikat “kediriannya” di dalam dunia riil.
Mereka-mereka ini adalah manusia yang menginginkan kebenaran atau ingin tetap terjaga dalam kesadaran di tengah absurditas. Tapi, bisakah manusia-manusia ini tetap terjaga?
Bertahan di dunia yang serba gamang ini membutuhkan kesadaran ekstra. Namun apa itu kesadaran, dan bagaimana kesadaran itu mewujud di dalam dunia yang balam seperti ini? Socrates (470/469-399 SM), seorang filsuf kenamaan dari Yunani, menyatakan bahwa “kesadaran” itu bisa diperoleh lewat kebijaksanaan.
Seseorang yang bijak, bagi Socrates, adalah mereka yang haus akan pengetahuan.
Semakin seseorang mengetahui atau memahami sesuatu, maka ia akan semakin bijak dan kebijaksanaan itulah yang akan menghantarkannya pada kesadaran di tengah-tengah realita.
Socrates meyakini bahwa pengetahuan muncul lewat pengalaman-pengalaman empiris yang terus menerus dipertanyakan.
Puncak dari pencarian ini akan berakhir pada keputusan-keputusan moral yang bersandar pada pengetahuan tentang baik-buruk. Misal, ketika seseorang berbuat baik, maka tentu saja ia mengetahui konsep tentang kebaikan dan begitu pun sebaliknya.
Socrates mengajak agar setiap orang untuk mempertanyakan apa yang benar dan yang salah.
Ia juga akan bertanya tentang alasan-alasan dibalik pilihan mereka. Sebab, sebelum seseorang menerima bahwa sesuatu itu benar atau salah, ia harus terlebih dahulu mengujinya dengan melemparkan berbagai macam pertanyaan.
Hal ini pernah dilakukan Socrates dalam bentuk dialog dengan banyak orang yang dijumpainya, khususnya di Pasar Agora, sebuah tempat berkumpulnya banyak orang.
Dalam perjumpaan itu, Socrates akan bertanya tentang apa itu cinta, keindahan atau kecantikan beserta alasan-alasan dibalik jawaban mereka. Ia akan bertanya pada tukang batu, tukang kayu, penyair dan bahkan bangsawan atau pejabat negara.
Dalam mengajukan berbagai pertanyaan ini, Socrates tidak hendak menjadi guru yang berlagak tahu terhadap sesuatu.
Sebaliknya, ia ingin menggali potensi pengetahuan dari orang-orang yang berdialog dengannya.
Di saat yang sama, Socrates juga kukuh atas pendiriannya manakala telah menemukan jawaban-jawaban dari kegelisahan yang menghantuinya. Socrates mengambil jarak dari dogma.
Ia tidak percaya bahwa sesuatu itu turun dari langit, terberi dari tangan para dewa — yang menjadi sesembahan orang-orang Yunani saat itu — sebab kepercayaan ini hanya akan membawa manusia pada kepasrahan dan mengabaikan usaha-usaha.
Dalam Filsafat Periode Socrates yang ditulis oleh Friedrich Copleston, mengafirmasi lebih jelas tentang pendiriannya yang bahkan ditunjukkannya ketika ia menjadi seorang anggota senat.
Socrates secara gamblang menolak permintaan Tirani Tiga Puluh, untuk mengambil bagian dari penangkapan Leon dari Salamis yang akan dibunuh oleh kaum oligarki, supaya dapat menyita hartanya.
Asbab penolakan itulah, Socrates mungkin harus membayar dengan nyawanya.
Sebab, tidak jauh sesudah pergunjingan itu, ia dijatuhi hukuman mati dengan meneguk secangkir Hemlock (tanaman beracun), ketika Socrates kira-kira berusia 70 tahun.
Tuduhan yang menyasar pada Socrates adalah dengan sebab berikut: “Socrates bersalah (i) karena tidak menyembah dewa-dewa yang disembah negara, tetapi memperkenalkan praktik-praktik keagamaan baru dan asing. (ii) dan, lebih lanjut, merusak para pemuda. Jaksa menuntut mati.”
Socrates memang tidak ada lagi. Ia juga tidak meninggalkan satu pun karya tulis (buku).
Socrates hanya bisa dibaca atau dikenali melalui dua tokoh yang hidup hampir semasa atau sesudahnya, yakni Platon dan Aristoteles. Namun pikiran-pikiran Socrates masih relevan sampai saat ini, wabilkhusus di era pasca-kebenaran ini.
Sebab, pertama, Socrates mengajarkan bahwa sebelum sebuah informasi tersebut diterima sebagai kebenaran, maka ia harus dipertanyakan.
Dalam kaitannya dengan ketegangan-ketegangan di dunia maya. Saat ini, di tengah peluberan informasi yang tersebar begitu cepat di media sosial, keputusan-keputusan yang dibuat oleh sebagian besar orang lebih dilatarbelakangi oleh pertimbangan-pertimbangan emosional, alih-alih mengujinya kembali.
Apalagi misalnya, jika informasi ini berkait-kelindan dengan “agama” yang begitu sensitif, orang-orang terlalu cepat mengambil kesimpulan tanpa mendudukkan perkara sebenarnya.
Sehingga, sebaliknya lewat pengujian ulang, informasi-informasi tersebut dapat disaring sebelum dibagikan lagi ke ruang publik yang lebih luas.
Socrates, percaya bahwa ia adalah seseorang yang menerima tugas dari Kuil Delphi, yakni “tugas untuk membuat manusia menjaga kemuliaan yang dimilikinya, melalui pencapaian atas kebijakan serta kebajikan.”
Pandangan Socrates ini terangkum dalam Apologia yang dikarang oleh Platon.
Platon menceritakan tentang bagaimana Socrates yang pergi ke suatu tempat, di mana ia bisa melakukan kebaikan terbesar bagi siapapun dengan cara “mencoba” untuk membujuk setiap orang, bahwa mereka harus memandang dirinya sendiri dan mencari kebajikan serta kebijaksanaan sebelum ia memperhatikan kepentingan personalnya.
Dan jika ia melontarkan kritikan atau merespon pandangan yang dangkal. Itu bukan karena ia ingin menampilkan kecerdasan dialektik superiornya.
Melainkan, hasrat untuk memperbaiki dan kebajikan untuk lawan bicaranya, serta pembelajaran bagi dirinya sendiri.
Katakanlah ini adalah perang. Namun demikian, jika pada akhirnya kita kalah, maka penerimaan atas kekalahan itulah yang mesti dilakukan.
Apalagi bagi manusia-manusia yang menyaksikan fenomena hari ini yang, syarat dengan berbagai hasrat dan kecenderungan.
Menjelma sebagai makhluk dengan ragam kemungkinan dan superioritas. Mafhumnya, dilihat sebagai sebuah proses dialektis untuk membangun kesadaran kritis atau tepatnya, memperoleh kesadaran di era Pasca-kebenaran ini.
Dengan demikian, mempertanyakan kejelasan sesuatu, hingga kebebasan berpendapat, adalah hal-hal penting yang patut untuk direnungkan di era ini.
Untuk mencapai itu, tentu saja, dibutuhkan pengetahuan yang, pada akhirnya jika disanggupi akan membawa seseorang memperoleh kebijaksanaan di tengah realita yang telah berpesai-pesai di tengah arus dunia pasca-kebenaran ini.
Sebab dalam pikiran-pikiran Socrates, yang banyak digambarkan sebagai sosok manusia yang sangat percaya diri, pemberani, rendah hati, pembelajar dan berjiwa besar.
Tidak begitu peduli terhadap urusan-urusan duniawi dan dipercayai telah dibimbing oleh suara-suara ilahi – sangat begitu menyakini bahwa: “penalaran yang jernih adalah syarat penting untuk hidup secara benar.”(**)
Catatan : Tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis
(Info: himpun.id menerima kontribusi tulisan dengan berbagai tema. Rubrik tulisan yang dapat di kirim yakni Opini, Resensi, Cerpen, dan Puisi)