30.7 C
Jakarta
Jumat, September 20, 2024

Buy now

Dinamika Kebijakan Pemerintah dalam Menjaga Stabilitas Iklim di Indonesia

Oleh: Emmanuel Ariananto Waluyo Adi

Perubahan Iklim Global

HIMPUN.IDOPINI – Iklim adalah rata-rata cuaca dimana cuaca merupakan keadaan atmosfer pada suatu saat di waktu tertentu.

Iklim didefinisikan sebagai ukuran rata-rata dan variabilitas kuantitas yang relevan dari variabel tertentu (seperti temperatur, curah hujan atau angin), pada periode waktu tertentu, yang merentang dari bulanan hingga tahunan atau jutaan tahun.

Iklim berubah secara terus menerus karena interaksi antara komponen-komponennya dan faktor eksternal seperti erupsi vulkanik, variasi sinar matahari, dan faktor-faktor disebabkan oleh kegiatan manusia seperti misalnya perubahan pengunaan lahan dan penggunaan bahan bakar fosil.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Kerangka Kerja Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) mendefinisikan Perubahan iklim sebagai perubahan iklim yang disebabkan baik secara langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga mengubah kompoisi dari atmosfer global dan variabilitas iklim alami pada perioda waktu yang dapat diperbandingkan.

Komposisi atmosfer global yang dimaksud adalah komposisi material atmosfer bumi berupa Gas Rumah Kaca (GRK) yang di antaranya, terdiri dari Karbon Dioksida, Metana, Nitrogen, dan sebagainya.

Pada dasarnya, Gas Rumah Kaca dibutuhkan untuk menjaga suhu bumi tetap stabil. Akan tetapi, konsentrasi Gas Rumah kaca yang semakin meningkat membuat lapisan atmosfer semakin tebal.

Penebalan lapisan atmosfer tersebut menyebabkan jumlah panas bumi yang terperangkap di atmosfer bumi semakin banyak, sehingga mengakibatkan peningkatan suhu bumi, yang disebut dengan pemanasan global.

Perubahan iklim berdampak sangat luas pada kehidupan masyarakat.

Kenaikan suhu bumi tidak hanya berdampak pada naiknya temperatur bumi tetapi juga mengubah sistem iklim yang mempengaruhi berbagai aspek pada perubahan alam dan kehidupan manusia, seperti kualitas dan kuantitas air, habitat, hutan, kesehatan, lahan pertanian dan ekosistem wilayah pesisir.

Upaya Pemerintah Tangani Isu Perubahan Iklim saat ini yaitu :

1. Penerbitan surat utang negara atau sukuk yang berbasis pada program pengentasan atau pengurangan perubahan rumah kaca atau dikenal sebagai green bonds.

2.Pembentukan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup dan SDG Indonesia One yang bertujuan mempertemukan berbagai kegiatan maupun perubahan iklim dengan sumber dananya baik dari APBN, mitra pembangunan, badan usaha, filantropis, individu dan lembaga multilateral.

3. Kebijakan tax holiday guna mendukung investasi baru untuk pengembangan dan membangun energi terbarukan serta perbedaan tarif PPNBM kendaraan berdasarkan emisi CO2.

4. Untuk daerah, perhatian pemerintah terhadap dampak perubahan iklim diberikan melalui transfer ke daerah. Dana Alokasi Khusus non fisik memberikan bantuan penyediaan biaya layanan pengelolaan sampah, sedangkan transfer lain seperti Dana Insentif Daerah (DID) ditujukan untuk mendukung pemerintah daerah mengelola serta menangani sampahnya agar makin berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

Indonesia telah menyatakan komitmennya pada Conference of Parties (COP) 15 tahun 2009 dan Paris Agreement yang telah diadopsi pada COP 21 UNFCCC pada bulan Desember 2015 untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% (dengan usaha sendiri) dan sebesar 41% (jika mendapat bantuan internasional) pada tahun 2020.

Komitmen Indonesia tersebut diperkuat melalui dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Republik Indonesia yang pertama (UU No. 16 Tahun 2016) dengan ditetapkannya target unconditional sebesar 29% dan target conditional sampai dengan 41% dibandingkan skenario business as usual (BAU) di tahun 2030.

Secara nasional, target penurunan emisi pada tahun 2030 berdasarkan NDC adalah sebesar 834 juta ton CO2e pada target unconditional (CM1) dan sebesar 1,081 juta ton CO2e pada target conditional (CM2).

Untuk memenuhi target tersebut, secara nasional telah dilakukan berbagai aksi mitigasi pada semua sektor oleh penanggung jawab aksi mitigasi.

Dalam rangka memberikan informasi tentang pencapaian target dari komitmen NDC, juga sebagai kontrol terhadap progress capaian NDC, serta sebagai pelaksanaan Peraturan Presiden No 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional (GRK), Nantinya pengembangan inventarisasi GRK akan dilengkapi melalui pendekatan top-down dan bottom-up, agar dapat dibandingkan perhitungan yang dilakukan di tingkat nasional dengan agregasi hasil perhitungan yang dilakukan pemerintah daerah.

Indonesia, sebagai negara Pihak pada UNFCCC, telah memberikan komitmen untuk menurunkan emisi GRK 29% dari skenario emisi GRK secara BAU, dimana pada tahun 2030 emisi GRK diproyeksikan sekitar 2.881 GtCO2e.

Penyelenggaraan inventarisasi gas rumah kaca, monitoring, pelaporan dan verifikasi merupakan suatu proses yang berkesinambungan karena melibatkan upaya perbaikan yang dilakukan terus menerus sejalan dengan semakin berkembangnya ketersediaan data dan pengetahuan terkait dengan pendugaan emisi dan serapan GRK.

Upaya perbaikan dalam peningkatan kualitas data, sistem dokumentasi dalam mendukung QA/QC dan transparansi data masih perlu ditingkatkan dalam rangka perbaikan penyelenggaraan inventarisasi GRK dan monitoring, pelaporan dan verifikasi.

Peningkataan kualitas data aktifitas maupun faktor emisi dari data terkecil, merupakan prioritas perbaikan dalam penyelenggaraan inventarisasi gas rumah kaca pada sektor yang mempunyai key category dan uncertainty tinggi. Upaya perbaikan selanjutnya akan difokuskan pada sumber/rosot yang sudah diidentifikasi sebagai kategori kunci serta untuk meningkatkan kualitas inventarisasi GRK ke Tier yang lebih tinggi.

Perdagangan Karbon

Perdagangan karbon merupakan kegiatan jual beli sertifikat yang diberikan kepada negara yang berhasil mengurangi emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim.

Perdagangan karbon (carbon trading) tidak jauh berbeda dengan transaksi jual beli yang dilakukan di pasar konvensional, yang berbeda adalah komoditas yang diperjualbelikan, yaitu emisi karbon.

Pembeli emisi karbon biasanya negara maju dan industri besar, sementara penjualnya adalah negara berkembang dengan hutan yang luas sebagai penyerap karbon dioksida sebagai penjual sertifikat.

Hutan menjadi sasaran utama karena fungsinya sebagai penyerap karbon dioksida. Melalui hutan lindungnya yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, Indoneia merupakan salah satu negara penjual emisi karbon yang aktif.
Emisi karbon yang bisa diperdagangkan adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrat oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs), dan sulfur heksafluorida (SF6).

Keenam emisi ini menjadi pemicu utama pemanasan global di Bumi dan akhirnya menyebabkan krisis iklim. Satu unit kredit karbon biasanya setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida.

Saat ini, harga sertifikat emisi karbon sekitar 28 dolar per ton, naik 10 dolar dari tahun sebelumnya karena munculnya peraturan-peraturan terkait perdagangan karbon.

Indonesia sudah menjual emisi karbon sejak tahun 2005, salah satunya melalui proyek CDM (Clean Development Mechanism) atau Mekanisme Pembangunan Bersih.

Proyek CDM merupakan proyek penurunan emisi di negara berkembang yang bertujuan mendapatkan sertifikasi penurunan emisi (certified emission reduction) atau CER. Dengan membeli ini, maka negara-negara industri maju bisa mengklaim target penurunan emisi mereka.

Data Kementerian Lingkungan Hukum dan Kehutanan tahun 2015 menyebutkan bahwa 37 dari total 215 proyek CDM telah berhasil menurunkan emisi sebesar 10.097,175 ton CO2e (satuan : karbon dioksida ekuivalen) dan 329,483 ton CO2e dari perdagangan karbon bilateral dengan Jepang. Kerja sama ini menghasilkan investasi sebesar US$150 juta atau Rp2,1 triliun Proyek CDM ini sebagian besar dari sektor energi terbarukan, pengolahan limbah menjadi energi, hingga pertanian dan kehutanan.

Hasil simulasi dari penelitian Kementerian Keuangan menunjukkan setiap tahun perdagangan karbon akan menyumbangkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 7,5–26,1% dari realisasi pendapatan dari barang dan jasa (Pendapatan Badan Layanan Umum/BLU) tahunan untuk periode 2011-2018 atau sekitar Rp350 triliun dengan asumsi bahwa pemerintah memiliki komitmen yang tinggi untuk menekan laju deforestasi hutan dan menyusun kebijakan yang mendukung pelestarian hutan.

Jika dapat dimaksimalkan, perdagangan karbon akan memiliki peran yang besar dalam konteks penerimaan negara. Selain manfaat ekonomi, perdagangan karbon merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk bisa mengejar target penurunan emisi sebesar 26% pada tahun 2020 dan 29% pada tahun 2030.

Beberapa hambatan untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan lingkungan dari perdagangan karbon, antara lain, adalah kebakaran lahan dan hutan, konflik lahan dengan masyarakat setempat dan perusahaan, hingga perubahan tata guna lahan menjadi perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit.

Pemerintah pusat dapat mengatasinya dengan misalnya memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam aktivitas perdagangan karbon, meningkatkan peran masyarakat adat dalam pelestarian hutan, dan menggunakan dana yang diperoleh dari hasil aktivitas perdagangan karbon untuk penguatan dan perlindungan masyarakat adat.

Dalam penyusunan peraturan, perlu menegdepankan hukum-hukum adat yang bisa membantu upaya pelestarian hutan dan lingkungan.

Beberapa riset menunjukkan bahwa peran masyarakat adat dan hukum adat sangat penting dalam menjaga dan melindungi hutan.

Perdagangan karbon bisa menjadi solusi bagi masalah deforestasi dan kesejahteraan masyarakat.

Hal tersebut menunjukkan bahwa manfaat ekonomi dan lingkungan bisa diraih secara bersamaan jika kita berkomitmen melindungi lingkungan.

Kekurangan dalam perdagangan karbon:

1. Menciptakan pasar karbon dioksida memang sangat sulit. Perlu melakukan promosi kelangkaan dan harus benar-benar membatasi hak untuk mengeluarkan barang agar dapat diperdagangkan. Dalam skema perdagangan karbon terbesar di dunia, campur tangan politik telah menciptakan kilau izin yang sering diberikan secara gratis, sehingga menyebabkan jatuhnya harga bahkan pengurangan emisi tidak lagi menjadi efektif.

2. Izin penggantian kerugian dari membayar pengurangan polusi di negara-negara miskin. Pentingnya izin ketika hendak mengurangi emisi karbon saat ini banyak dipertanyakan dan efektivitas skema pembatasan dan perdagangan secara keseluruhan semakin berkurang. Ada dua opsi dalam skema pembatasan emisi karbon, yaitu pajak karbon dan peraturan secara langsung. Pajak karbon banyak diberlakukan di negara Eropa. Beberapa negara juga memberlakukan pajak tersebut seperti India, Jepang dan Korea Selatan

3. Perdagangan emisi karbon banyak menuai kritik karena dianggap sebagai gangguan yang cukup berbahaya dan setengah-setengah dalam memecahkan permasalahan pemanasan global yang sangat mendesak.

Awal 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia berpotensi mendapatkan tambahan pendapatan sebesar Rp350 triliun dari transaksi jual beli sertifikat emisi karbon.

Potensi ini mendorong pemerintah untuk menyiapkan aturan tentang perdagangan karbon dalam bentuk Peraturan Presiden, yang mana sampai oktober 2021 saat ini masih proses finalisasi.

Pada tahun 2015, tercatat nilai perdagangan karbon global sekitar US$ 50 milyar, dimana 70% dari total tersebut dihasilkan dari Emission Trading System dan 30% dihasilkan dari Carbon Tax. Indonesia memiliki cukup pengalaman dalam perdagangan karbon, baik secara global maupun bilateral.

Proyek CDM yang telah mendapat endorsement DNA CDM Indonesia sebanyak 215 proyek dan yang mendapat CER sebanyak 37 proyek. Proyek CDM telah menghasilkan penurunan emisi GRK sekitar 10.097,175 ton CO2e (offset).

Sementara proyek bilateral JCM yang telah diimplementasikan di Indonesia sebanyak 106 proyek dengan menurunkan sekitar 329,483 ton CO2e.

Hasil penurunan emisi GRK pada proyek bilateral JCM dapat dihitung sebagai capaian penurunan emisi GRK yang terbagi antara pemerintah Indonesia, pihak swasta Jepang yang memiliki teknologi dan pihak swasta Indonesia yang mengadopsi teknologi.

Untuk itu, proyek bilateral JCM merupakan mekanisme yang dapat mendukung pencapaian komitmen pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi GRK sebagaimana dituangkan dalam INDC Indonesia, khususnya dengan menggunakan dukungan internasional apabila dirancang dengan hati-hati.

Sementara proyek CDM hanya dapat diperhitungkan sebagai capaian penurunan emisi GRK oleh pembeli.

Catatan : Tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis

(Info: himpun.id menerima kontribusi tulisan dengan berbagai tema. Rubrik tulisan yang dapat di kirim yakni Opini, Resensi, Cerpen, dan Puisi)

Sumber Bacaan: http://ditjenppi.menlhk.go.id/kcpi/index.php/info-iklim/dampak-fenomena-perubahan-iklim/229-perubahan-iklim-di-indonesia

https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ini-upaya-pemerintah-tangani-isu-perubahan-iklim/

http://ditjenppi.menlhk.go.id/berita-ppi/3150-kontribusi-penurunan-emisi-grk-nasional,-menuju-ndc-2030.html

https://theconversation.com/manfaat-perdagangan-karbon-bagi-ekonomi-dan-lingkungan-indonesia-144077

https://katadata.co.id/muchamadnafi/ekonomi-hijau/60acffdd367f2/carbon-trading-mengurangi-emisi-menurunkan-karbon-dioksida**

Redaksi
Redaksi
Tajam Melihat Dunia