HIMPUN.ID – Kelebihan dari panggung politik Thariq Nurjana yang tak dimiliki paslon lain adalah tanggomo yang memuat sensibilitas humor yang tinggi sehingga kampanye politik tampak cair dan penuh kegembiraan.
Seperti platfrom “gitu aja kok repot” dari Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, alih-alih menggambarkan kepribadian yang meyepelekan persoalan, justru secara implisit menunjukkan bahwa selalu ada jalan keluar dari segenap hal ketika kita punya kesanggupan mendekatinya dengan tidak tergesa-gesa, dengan sikap riang dan lapang dada. Banyak buku yang telah menghimpun humor-humor Gus Dur dan beliau sendiri berkesempatan memberikan kata pengantar cukup bagus untuk sebuah kitab klasik, Mati Ketawa Cara Rusia.
Hari-hari ini semasa kampanye Pilkada Gorut, menjadi penting mendekatkan kembali politik pada jangkar humor dengan simpul Tanggomo. Politik dengan tiga kubu paslon yang saling berhadapan semestinya dicairkan dalam percakapan-percakapan ringan, hangat, penuh kekeluargaan.
Humor melalui Tanggomo, maka sekutu latennya yang bernama hoax, hate speech hingga orasi kewilayahan/etnik (primordial) tak lagi dapat tempat. Khitah Tanggomo acuannya bukan memompa andrenalin menertawakan orang lain, melainkan menyuntikkan kesanggupan menertawakan politik kita, wajah demokrasi Gorontalo Utara.
Ini berbalikan dengan hoax, hate speech hingga orasi kewilayahan/etnik (primordial) yang sedari awal diniatkan untuk memprovokasi seseorang supaya menjatuhkan pilihan dalam politik atas dasar kebencian.
Hoax, hate speech hingga orasi kewilayahan/etnik (primordial) dengan Tanggomo tak ubahnya air dan minyak. Tak mungkin dipadukan. Tanggomo akan mengantarkan seseorang (dan negeri Gorut) menemukan marwahnya yang luhur. Sebaliknya hoax, hate speeech dan primordial hanya kian mempercepat terciptanya situasi gelap.
Tanggomo adalah suluh peradaban, hoax, hate speeech dan primordial adalah sampahnya. Atau dalam metafora Bung Karno, Tanggomo itu apinya sedangkan hoax, hate speeech dan primordial abunya.
Tanggomo jalan memeluk politik
Tanpa humor Tanggomo, politik lesap dalam keyakinan yang membatu, tak ada rongga untuk mempertanyakan sebuah dogma. Politik dijauhkan dari tawa, sehingga warga cenderung keras, serius, dan mudah tersinggung. Politik menjadi tertutup dan doktrinnya tak boleh disentuh kecuali oleh mereka yang dipandang punya otoritas.
Sebaliknya, Tanggomo yang dicurahkan dengan humor politik menjadikan warga memiliki kebebasan menafsir ulang laku orasi politik secara kontekstual sehingga pendidikan politik tampak membumi. Dalam orasi politik, yang semestinya dikembangkan adalah semangat “memeluk politik” bukan “dipeluk politik”. Dalam memeluk politik, politik tak lagi menakutkan tetapi menjadi sebuah seni mengelola suara untuk dikembalikan lagi ke pemiliknya dalam wujud kebajikan publik, kesejahteraan yang berpihak bagi warga secara merata.
Menghujat, memfitnah, menghujam etnik kewilayahan dan mengumpat kebencian adalah contoh paling telanjang bagaimana sekawanan orang “dipeluk politik” dan tak sempat berpikir jernih soal motif politik dibelakangnya yang didesain kelompok kepentingan kaum predator pencari suaka politik.
Setelah mendengarkan pemaparan cabup dan cawabup, Thariq Nurjana dalam debat yang ditayangkan live streaming, hal yang nampak adalah kemampuan joke melalui narasi data dan fakta yang segar dan mencerahkan ingatan. Kita masih ingat ketika Gus Dur mengkritik DPR sebagai taman kanak-kanak atau saat ditanya tentang modal yang mengantarkannya jadi Presiden RI, dengan ringan dijawab, “Modalnya dengkul dan itupun dengkulnya Amien Rais”. Semua tertawa dan kemungkinan besar Amien, yang saat itu stok humornya masih berlimpah, terpingkal-pingkal.
Dengan Tanggomo, Pilkada Gorut adalah hajat demokrasi yang sudah seharusnya dirayakan penuh keriangan. bukan saling merisak apalagi melempar tuduhan serampangan. Pilkada bukan untuk memilih malaikat yang tak pernah keliru, atau memilih setan yang selalu salah, tetapi memilih manusia yang kadang salah dan sering juga benar. Tinggal kita menakar, siapa di antara ketiga paslon itu yang tingkat kekeliruannya paling kecil, tak memikul beban gelap endemi politik transaksional dan paling sedikit dosa sosialnya.
Tanggomo melalui jalur humor budaya lokal, mampu membersihkan politik yang kehilangan preferensi humanistiknya. Bagaimana hoax, hate speech serta orasi kewilayahan etnik (primordial) dengan brutal diseret ke ruang publik yang nyata dan maya untuk menyalurkan napsu kufur kekuasaan tanpa melihat dampak relasi sosial warga.
Tanggomo jalan budaya akal sehat
Akal sehat itu sesungguhnya terletak pada humor Tanggomo, pada keterampilan menyampaikan bait-bait politik keseharian warga dengan metafora sehingga membuka ruang beku ingatan warga dengan lugas dan sederhana. Bukan orasi politik dengan logika instrumental yang membelah realitas politik menjadi hitam dan putih dengan stigmatisasi hoax, hate speech dan orasi kewilayahan etnik (primordial) pada mereka yang tak sehaluan pilihan.
Kewarasan akal itu tautannya tidak pada sikap nyinyir, tetapi mental tegak lurus dengan kebenaran, kesederhanaan, dan kemauan meletakkan politik sebagai armada tempur yang rukun. Maka, pantas kalau filsuf Belanda, Johan Huizinga, menyebut bahwa inti kebudayaan itu adalah permainan. Dalam Umberto Eco, The Name of The Rose, Aristoteles telah melekatkan martabat filosofis pada tawa. Pada abad skolastik tawa dicurigai karena bisa mengoyak kekeliruan bernegara dan merobohkan kemapanan kekuasaan.
Manusia sebagai Human ludens (manusia yang bercanda), jantung permainan itu sering kali dirumuskan dalam humor, dan Tanggomo adalah medan tawa budaya akal sehat. Pemain yang bagus adalah mereka yang paham aturan main, di tangannya permainan yang diperankan tampak rileks, otentik, dan memukau. Lewat Tanggomo sebagai humor politik, argumentasi dan persuasi menemukan kematangannya. Dengan Tanggomo, seseorang bisa melakukan konfrontasi yang elegan dan intim dengan keseharian warga.
Penulis: Zulkarnain Musadat/Tim Pemenangan Thariq Nurjana