Pramoedya Ananta Toer berucap; Dan bagaimana pun tentunya ia seorang wanita cerdas. Dan kecerdasan untuk seorang wanita adalah kecantikan tambahan. Kalau dia seorang yang pada dasarnya cantik, dia akan menjadi bintang diantara wanita. Jejak Langkah, hlm. 619
Kali ini bursa pilkada Gorontalo Utara tahun 2024 mendapat nama seorang perempuan yang berbeda secara diametral pada pilkada sebelumnya, yaitu Nurjana Hasan Yusuf.
Sosok yang lahir dari tepian pesisir pulau. Latar belakang orang tua yang mengandalkan keberlimpahan alam sebagai lumbung kehidupan. Nurjana, dengan kegembiraannya menemani waktu tumbuh cucunya, kembali terpanggil sebagai seorang perempuan politik yang membasuh keringat “keibuannya” untuk melayani hasrat hidup warga Gorontalo Utara.
Nurjana termasuk bagian dari generasi X. Label “X” berasal dari Douglas Coupland, mencerminkan slogan anti-kemapanan dan sikap menentang otoritas generasi ini. Gen X terkenal dididik oleh orang tua yang disiplin, pun pada umumnya memiliki karakteristik yang mandiri, pekerja keras, dan juga logis.
Adi Prayitno, pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menyatakan Gen X adalah para pemilih yang matang yang akan memilih dengan melihat program konkret, substantif, objektif, dan bukan gimmick. Gen X rata-rata pemilih yang sudah matang secara politik dan rasional. Gen X menyukai dan akan memilih figur yang memiliki rekam jejak terukur dan bersih dari urusan politik transaksional.
Hadirnya Nurjana dalam pusaran politik Gorut akan mampu menyasar dua segmen pemilih yaitu Gen X dan pemilih perempuan, yang jumlahnya terpaut 199 suara dari jumlah pemilih laki-laki (laki-laki 46.400 dan perempuan 46.201). Inilah data sekaligus fakta, bahwa keberadaan Nurjana pada siklus politik merupakan oksigen baru yang seyogyanya dipandang sebagai jalan menuju cahaya gemerlap politik keperempuaan.
Nurjana, diawal kariernya sama seperti perempuan lainnya yang mengurusi urusan domestik keluarga dan kemudian mulai merangkak dalam gelanggang politik Golkar. Menjadi anggota legislatif DPRD Provinsi Gorontalo dan Ketua DPRD Gorontalo Utara adalah sesuatu yang patut diperhitungkan, bukan justru dikaitkan dengan patron nama “pendampingnya”.
Dibalik karier politik yang prestisius, tentunya ada kerja-kerja politik yang selama ini kurang ditelisik oleh lawan-lawan politiknya yaitu sumberdaya suara perempuan. Sesuatu yang menjadi atmosfir dasar dalam hiruk pikuk sejarah gerakan perempuan di Indonesia.
Nyaris, nama Nurjana selalu dihakimi saat pesta politik berlangsung. Isu miring seputar ia dan keluarganya menjadi hal yang sangat wajar dimunculkan untuk memuaskan hasrat politik purba bagi lawan-lawannya. Dari situlah, akumulasi nama dan suara Nurjana justru memperoleh simpati warga dan menerobos ruang-ruang beku politik lokal yang menyuguhkan suara Nurjana sebagai pelita bagi kaum perempuan; kasih ibu tiada tara.
Nurjana dengan cepat melejit menjadi tokoh perempuan Gorut yang dipercakapkan publik. Nurjana mengalahkan mimpi para politisi Gorut dan tokoh yang menampung hasrat untuk berada dalam bursa pilkada. Para politisi dan tokoh tulen yang telah lama malang melintang di dunia perpolitikan dan telah lama pula menguras taktik dan memoles dirinya.
Dirunut ke dalam rujukan apa pun, tidak ada larangan perempuan terlibat dalam dunia politik, seperti juga tidak ada regulasi yang menjadikan politik sebagai hak eksklusif laki-laki. Perempuan akan selalu dibawah laki-laki, kalau yang diurusi hanya baju dan dan kecantikan, begitulah ujar Soe Hok Gie.
Secara sosio-politik, keterlibatan perempuan dalam politik bisa ditelusuri pada proses perseptual, dan sikap perempuan terhadap politik, baik yang terbangun karena persepsinya maupun akibat pemerolehan informasi, afiliasi kelompok, dan cara individu merespon persoalan (individual response traits).
Meski persepsi bersifat individual, namun terdapat arus kuat mengkonstruksi politik secara maskulin. Kesan terakhir dikuatkan oleh wacana yang dikonstruksi media (seperti penggambaran politik yang hampir selalu dianalogikan urusan lelaki).
Tentunya, Nurjana sebagai calon Wakil Bupati melambangkan simbol kekuasaan politik. Di masa tahapan kampanye kedepan kita akan menyimak bagaimana wajah menu kampanye ketika seseorang yang tumbuh dari kamar politik perempuan ikut berlari setara dengan laki-laki dalam perebutan kepercayaan dibilik suara warga.
Akankah Nurjana lebih agresif keberpihakan kepada warga yang dijumpainya, mengasihi keadaan warganya seperti pemeo; kasih ibu sepanjang masa. Sedikit banyak, di tangan Nurjana halaman muka demokrasi dan jangkar politik perempuan Gorontalo Utara disandarkan.
Suara perempuan yang selama ini dalam banyak perbincangan sering kali dianggap sebatas suara pelengkap dengan keterwakilan kurang ‘bergetar’, justru kali ini menemukan jalan yang seharusnya diperjuangkan oleh kaum perempuan. Nurjana sebagai lokomotif yang hadir disaat gerbong suara perempuan dipandang sebelah mata.
Tentunya merawat dan mengajak suara perempuan secara masif memang tidak gampang. Tapi, selama denyut juang dan gerap langkah masih terpampang nyata, momok itu kian bisa untuk diubah. Potongan kisah perjuangan perempuan di penjuru dunia dan dalam tubuh demokrasi Indonesia harus kembali digetarkan untuk mendongkrak suara perempuan agar secara dengan laki-laki.
Nurjana datang tidak menjual “lidah”, ia bukan tipe politisi yang “berbusa-busa” diatas mimbar. Namun, arus pikir kepentingan perempuan jangan remehkan pada alam pikirannya. Ia telah khatam perihal “Sarinah” seperti jargon Soekarno dan dari sanalah ia piawai meracik “emak-emak” bersanding dengan “feminisme”
Bagi saya, Nurjana bukan sekadar calon Wakil Bupati yang berjenis kelamin perempuan, tapi perempuan di sana melambangkan feminitas yang semestinya menjadi oksigen yang mewarnai jagat politik harian kita yang dalam sejarahnya didominasi laki-laki lengkap dengan ideologi maskulinitasnya yang hegemonik dan kerap “ugal-ugalan”.
Feminitas seperti dalam kitab The Tao of Islam-nya Sachiko Murata menyimbolkan sayap dunia dengan sensitivitas rasanya yang kuat, mencerminkan sentuhan keibuan untuk mengelola lingkungan. Hal mana nama “negara” mendapatkan preferensi kulturalnya, sehingga dinamai “ibu pertiwi dan ibu kota”. Perempuan terikat secara budaya dengan kesadaran filosofis-historis yang tertancap tajam.
Hadirnya Nurjana menawarkan “jiwa”. Kampanye yang dilakoni selama ini tidak diletakkan pada pencitraan semata. Terbukti, jika kita mendayung linimasa sosial media, kita disuguhi foto-foto aktivitas seorang ibu rumah tangga yang tidak berjarak dengan warganya. Jika pun, hal itu diragukan oleh lawan politiknya, maka mereka hanya meletakkan Nurjana sebatas kacamata kuda politik purba.
Nurjana pun bukan sekadar menjual kecantikan dan pesona sebagai perempuan, tapi lebih pada “kepolosan” tanpa polesan dan kesediaannya menyatu dengan helai keringat warga yang ditemuinya. Dengan meminjam istilah Merleuau-Ponty dalam Phenomenology of Perception, mendengar aspirasi rakyat sebagai persentuhan diri dengan “dunia nyata” secara intim dan terlibat.
Kemenangan Nurjana nantinya akan diingat publik bahwa tak ada bedanya kepemimpinan laki-laki dan perempuan. Feminitas dan maskulinitas pun hanya soal biologis dan tak memiliki pengaruh penting bagi tumbuhnya keadaan biopolitik.
Nurjana sebagai dirigen dari sebuah panggung orkestra demokrasi pilkada dengan langgam berbeda dan kepentingan yang beragam menjadi signifikan. Di daerah pesisir yang paternalistik kerap kali posisi pemimpin menjadi segalanya. Dan Nurjana dengan senyum gegap gempita berani berada di pusaran kepemimpinan atas nama kesetaraan suara perempuan.
Penulis: Zulkarnain Musada
Dosen Ilmu Perikanan, Universitas Dumoga Kotamobagu