HIMPUN.ID – Akhir-akhir ini narasi tuduhan kepada Thariq Nurjana ramai dilontarkan. Politik hujatan keluar dari marwah demokrasi yang justru berdampingan erat dengan tunaharapan.
Inilah penanda utama bahwa koalisi banyak partai tidak mencerminkan koalisi akal sehat. Tidak hanya akal sehat yang lenyap, tetapi orasi politik yang tercerabut dari sumbu pendidikan politik juga ikut tiarap.
Orasi politik tampil bukan sebagai kekuatan pengingat tentang masa depan khalayak, hidup damai dalam perbedaan pilihan.
Melainkan justru dikomodifikasi untuk menasbihkan bahwa mereka lawan politik adalah “liyan” yang berhak mendapatkan predikat pembohong, penipu, pencuri bahkan miskin harta tidak layak maju dalam gelanggang demokrasi rakyat.
Orasi politik bukan lagi jangkar pengikat bagi warga agar hidup rukun berdampingan. Tetapi berubah wajah menjadi percakapan retoris sekedar lontaran ide yang dangkal, partisan, murahan dan pragmentaris. Kaya hujatan, miskin gagasan.
Orasi politik hujatan seperti gerungan knalpot motor yang membuat telinga bising dan kita tidak mendapatkan apa-apa kecuali sekadar suara tak beraturan dan tidak koheren.
Dari mulut orator yang gemar menyampaikan hujatan, tak ada kedalaman pengetahuan, ijasah dan label pendidikan sebatas pajangan kehidupan, status karier politik hanya sekadar napsu agar dipandang. Tidak juga didapati keteladanan yang mengagumkan.
Dari tangan orator yang hobi hujatan, tidak ditemukan tulisan yang menyejukkan. Tetapi lebih banyak dijumpai status media sosial yang merusak perkawanan atau membagi narasi yang penuh umpatan.
Tidak ada yang buruk dengan orasi politik selama diarahkan untuk sesuatu yang maslahat dan tegaknya keutamaan (virtue). Semacam orasi politik yang bersimpul pada kedaulatan data yang akurat, keberanian melepaskan kepentingan sesaat, dan menjadikan demokrasi kekitaan sebagai pandu dan pilihan hidup. Orasi politik yang bukan sekadar urusan etika (ethics), melainkan juga “yang etis” seperti disebutkan Emmanuel Levinas.
Orasi politik yang dengan kuat menyuntikkan jejak (trace), sekaligus tanda (sign) untuk mewujudkan warga pemilih menjadi subjek yang hidup (a living subject) sekaligus sadar (a conscious subject) dalam pengalaman berbangsa dan penghayatan bernegara yang utuh, inklusif dan nondiskriminatif.
Segenap para jurkam mendorong agar orasi politik bisa menampilkan wujud warga negara yang berdaulat secara ekonomi (Hatta), aktif dalam napas massa (Tan Malaka), mengembangkan nilai kebaikan (Aristoteles), berporos pada keagungan akal (Descartes), dan kewajiban moral yang melekat pada dirinya (Immanuel Kant).
Sgzerta tak pernah lupa bahwa dirinya sebagai individu yang terikat secara sosial dengan yang lain dalam sebuah jejaring kewargaan yang semestinya disalurkan dalam etik gotong royong (Bung Karno).
Kampanye yang rileks
Lepas dari itu semua, jika kita perhatikan kampanye Thariq Nurjana lebih rileks dan orator jurkam lebih persuasif mendengungkan kata-kata yang berasal dari aktivitas Paslon sehari-hari tanpa memuat unsur polesan.
Bahkan, narasi yang dilontarkan tanpa caci makian pun hujatan yang menohok. Kalimat yang disampaikan membuat warga tersenyum dan pesannya benar-benar kena sasaran.
Cara-cara seperti itu melambangkan tentang kematangan dalam karier politik, menyederhanakan persoalan kehidupan warga lewat penyampaian yang biasa saja. Tidak seperti politisi dan orator lainnya.
Politisi juga Orator Thariq Nurjana menyikapi perhelatan Pilkada dengan ringan, tidak sok heroik, santai sambil bercanda gurau namun tidak sampai kehilangan kedalaman substansi dari esensi orasi yaitu edukasi pendidikan politik kepada warga.
Bagaimana ibu-ibu dengan pesona gaun dan aksesoris berwarna kuning dengan enteng menyuarakan kalimat; saatnya perempuan bersuara, dalam balutan diksi yang lekat dengan frase “politik ke-ibu-an”.
Suara ibu-ibu yang selama ini dipandang sebatas alat ceruk suara pelengkap, kini muncul dalam gelanggang politik harian kita. Dan Nurjana adalah simbol perjuangan suara perempuan itu.
Saya ingin mengajak kita, bagaimana melihat perhelatan Pilkada Jawa Timur kali ini. Ketiga Paslon merupakan perempuan; Khofifah, Tri Rismaharini dan Luluk Nur Hamida. Artinya, masyarakat kita sedang berada pada pergeseran wajah kultur politik kesetaraan yang menolak tunduk pada pengekangan kebebasan.
Wajah politik Gorut pun, lewat kampanye rileks Thariq Nurjana bisa jadi semakin menggairahkan warga di tengah kebangkitan arus antara koalisi rakyat versus koalisi kursi.
Di samping, adu strategi antara kekuatan mobilisasi massa versus kesejukan orasi. Warga dengan sadar datang bukan karena uang, intimidasi hutang, bahkan iming-iming pelunasan pinjaman.
Kampanye Thariq Nurjana, kehadiran warga tanpa bayaran, berdialog dari hati ke hati adalah saripati puncak demokrasi di tangan rakyat.
Tanggomo sebuah bahasa rakyat
Lewat lantunan Tanggomo dari Ti Ka Anisi panggung kampanye Thariq Nurjana lebih bernyawa. Tanggomo adalah tradisi lisan Gorontalo yang diciptakan berdasarkan peristiwa atau kejadian dan disusun dalam bentuk puisi begitu penjelasan dari Ka Anisi.
Melalui untaian sajak Tanggomo, politik diturunkan dari bahasa kekuasaan tentang pergantian kepemimpinan dan seterusnya menjadi percakapan-percakapan kecil, sederhana dan tampak dekat dengan keseharian warga. Dengan lingkungan yang mereka hafal, dengan ingatan akan peristiwa sekelilingnya yang mereka aktifkan kembali.
Dengan Tanggomo, politik menjadi seni dimana subjeknya langsung berhubungan dengan warga sendiri dan atau fantasi masa depan warga.
Dengan Tanggomo, warga tak lagi melihat politik sebagai zero sum game, apalagi sampai mengamini Machievelli “Mereka yang kalah menjadi lebih vokal daripada para calon pemenang”. Warga sudah sangat paham pembedaan (istilah Zizek) antara “politik nalar” dan “politik durjana” (a specifically political rationality and a specifically political evil).
Untuk itu, menjadi kelihatan norek (baca: norak) dan tak mawas diri ketika kita mendengar orasi dari para politisi dan jurkam yang tampil di tengah warga dengan tangan menunjuk badan, air muka serius, dan lidah dilumuri hujatan kebencian bahkan batu bata visi misi lusuh yang dianggit dari zaman kuno abad pertengahan.
Tanggomo menjadi oksigen dalam penguatan orasi kampanye yang substansial, membersihkan kerumunan orasi yang sensasional hingga tendensius. Tak perlu bikin keributan atau mengkondisikan ketakutan.
Tanggomo menjadi simbol politik yang rileks, menjadi panggung demokrasi bahasa rakyat yang bertolak dari prinsip kekayaan budaya di ruang demokrasi Gorontalo Utara.
Penulis: Zulkarnain Musada
(Tim Pemenangan Thariq Nurjana)